Pernah belajar mengenai pertolongan pertama untuk luka?
Atau apakah kamu pernah diajarkan mengenai perawatan kesehatan gigi?
Atau hidup sehat dengan makan makanan empat sehat lima sempurna?
Saya
sendiri diajarkan mengenai hal-hal di atas sewaktu SD, misalnya sewaktu
saya jatuh dari sepeda dan terluka, saya harus mencuci luka dan
mengoleskan antiseptik pada bagian yang terkena luka.
Lalu bagaimana dengan kondisi emosional,
pernah ga kamu diajarkan cara untuk mengatasi rasa gagal waktu ujian jelek?
waktu ditertawakan di depan umum?
atau sewaktu patah hati karena ditolak atau diputuskan...
Sayangnya
pertolongan pertama tentang kondisi emosional tidak pernah diajarkan.
Beberapa nasihat hal yang pernah dikatakan sewaktu saya terluka adalah
"sabar yah" atau "Waktu akan menyembuhkan." Walaupun kadang kata-kata ini menolong, tetapi ternyata tidak dalam semua masalah. Beberapa masalah tidak tersembuhkan hanya karena waktu, beberapa luka-luka batin yang kita alami justru membuat luka tersebut bernanah karena tidak terobati.
Berbeda dengan luka fisik, kita bisa melihat langsung dan orang melihat langsung. Sehingga luka akibat jatuh langsung kita obati tetapi luka emosional tidak tampak dan tidak terlihat orang. Tetapi luka itu ada, dan tanpa sadar setiap hari kita berjalan ke sekolah, ke kampus atau ke tempat kerja dengan kondisi jiwa yang akut. Begitulah kenyataannya, kita cenderung mengabaikan luka-luka emosional yang kita hadapi sesehari.
Sebagai lulusan psikologi, kadang saya merasa kecewa karena masalah emosional dianggap lebih remeh dibandingkan masalah fisik. Kanker lebih berbahaya dari pada kesepian, Depresi kadang dianggap hal yang sepele, Bunuh diri dianggap lemah. Kenyataannya baik masalah fisik buruk maupun emosional melemahkan individu, merusak kesejahteraan bahkan mengakibatkan kematian. Masyarakat terlalu takut datang kepada ahli karena stigma gila. Padahal kalau seseorang bisa ditangani mungkin seseorang tersebut bisa diberi pertolongan, atau kalau kita memiliki keterampilan emosional, kita bisa melakukan pertolongan pertama seperti ketika kita melakukan pertolongan pertama pada luka sewaktu jatuh dari sepeda.
Tulisan ini bukan bahan kuliah, hanya topik ini saya rasa begitu penting, melihat kita sangat rentan dengan ucapan-ucapan kasar di akun sosmed, televisi/internet yang memberikan pesan-pesan tanpa filter. Tulisan ini dan tulisan-tulisan berikut adalah hasil resensi buku Emotional First Aid-nya Guy Winch, buku yang saya rekomendasi bagi kita yang mengalami luka-luka sesehari. Topik ini akan dibagi beberapa bagian seperti membahas penolakan, kesepian, trauma dll. Saya akan berusaha mengupdate selama seminggu sekali, semoga bisa membantu dalam mengelola luka-luka sesehari
psikologi menurut saya
Rabu, 13 Desember 2017
Senin, 24 Agustus 2015
Penyesuaian Sosial
1.
Pengertian Penyesuaian Sosial
Menurut Alexander
A. Schneiders dalam bukunya yang berjudul “Personal adjustment and
mental health” (1964:454) yang memberikan definisi sebagai berikut :
“Sosial adjustment signifies the
capacity to react affectively and wholesomely to social realities, situation
and relations do that the requirement for social living are fulfilled in an
acceptable and satisfactory manner”.
Dari
definisi diatas dapat dikatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan kemampuan
untuk bereaksi secara efektif dan sehat terhadap situasi, realitas dan relasi
sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat dipenuhi dengan cara yang dapat
diterima dan memuaskan.
Seseorang
yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah seseorang yang mampu merespon
secara matang, efisien, memuaskan dan bermanfaat. Efisien maksudnya adalah apa
yang dilakukannya memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang diinginkannya
tanpa banyak mengeluarkan energi, tidak membuang waktu, dan melakukan sedikit
kesalahan. Pengertian bermanfaat maksudnya adalah apa yang dilakukan ditujukan
untuk kemanusiaan, lingkungan sosial, dan didalam berhubungan dengan Tuhan,
dengan demikian terdapat kategori individu yang baik dalam penyesuaian diri,
baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sosialnya.
Hurlock (1999) menjelaskan bahwa
penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan
diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya.
Menurut Eysenck, dkk dalam Anantasri, (1997) penyesuaian sosial merupakan
proses individu atau suatu kelompok mencapai keseimbangan sosial dalam arti
tidak mengalami konflik dengan lingkungan, dengan demikian individu mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Schneiders (1964) juga menyebutkan
penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan
bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan
atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima
dan memuaskan. Penyesuaian sosial adalah proses mental dan tingkah laku yang
mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari
dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya (Schneiders, 1964).
Dari pengertian diatas didapat
disimpulkan bahwa penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial agar dapat memenuhi tuntutan dalam
kehidupan sosial.
2.
Aspek – Aspek Penyesuaian Sosial
Menurut Schneider (1964) aspek – aspek
penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:
a. Penyesuaian sosial terhadap
keluarga
Penyesuaian
sosial yang baik terhadap lingkungan keluarga memiliki ciri – ciri sebagai
berikut:
1.
Adanya hubungan yang sehat antar anggota keluarga, tidak ada penolakan
(rejection) orang tua terhadap anak – anaknya, tidak ada permusuhan, rasa benci
atau iri hati antar anggota keluarga.
2.
Adanya penerimaan otoritas orang tua, hal ini penting untuk kestabilan rumah
tangga dan anak wajib menerima disiplin orang tua secara logis.
3.
Kemampuan untuk mengemban tanggung jawab dan penerimaan terhadap pembatasan
atau larangan yang ada di dalam peraturan keluarga.
4. Adanya kemauan saling membantu antara
anggota keluarga baik secara perorangan maupun kelompok.
5. Kebebasan dari ikatan secara emosional
secara bertahap dan menumbuhkan rasa mandiri.
b. Penyesuaian
sosial terhadap lingkungan sekolah
Penyesuaian
sosial yang baik terhadap lingkungan sekolah memiliki ciri – ciri sebagai
berikut:
1.
Adanya perhatian, penerimaan, minat dan partisipasi terhadap fungsi dan
aktivitas sekolah.
2.
Adanya hubungan yang baik dengan komponen sekolah seperti guru, dan teman
sebaya.
c.
Penyesuaian sosial terhadap lingkungan
masyarakat
Penyesuaian sosial yang baik terhadap
lingkungan masyarakat memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
1.
Mengenal dan menghormati orang lain di sosial
2.
Bergaul dengan orang lain dan mampu mengembangkan sifat bersahabat, keduanya
diperlukan untuk penyesuaian sosial yang efektif.
3.
Penyesuaian sosial yang menarik dan dukungan untuk kesejahteraan orang lain.
4.
Bersikap hormat terhadap hukum, tradisi, dan adat istiadat. Adanya kesadaran
untuk mematuhi dan menghormati peraturan dan tradisi yang berlaku dilingkungan
maka ia akan dapat diterima dengan baik dilingkungannya
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian sosial
Schneider
(1964) mengemukakan bahwa penyesuaian sosial seorang individu dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu:
a.
Kondisi Fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi hereditas,
konstitusi fisik, kesehatan, sistem syaraf, kelenjar, dan otot.
b.
Perkembangan dan kematangan, khususnya intelektual, sosial, moral, dan emosi.
c.
Kondisi psikologis, meliputi pengalaman. Selain itu ada proses belajar,
pembiasaan, frustrasi, dan konflik.
d.
Kondisi lingkungan, khususnya lingkungan rumah dan keluarga, dimana kondisi
keluarga dapat menimbulkan kesulitan remaja melakukan penyesuaian sosial.
e.
Faktor kebudayaan, termasuk agama. Dimana nilai-nilai sosial budaya
mempengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang, termasuk penyesuaian sosialnya.
Rabu, 18 Maret 2015
Psikologi Forensik part 1 : PROFILING CRIMINAL
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Banyak orang yang tertarik dengan ilmu ini karena pada dasarkan kita tertarik mengenai diri kita dan orang lain. Bisa jadi, kita berharap kita tahu apa yang kita pikirkan dan orang lain pikirkan. Tetapi apa ayng saya bahas kali ini bukanlah mengenai kenapa orang tertarik dengan psikologi atau bagaimana cara mengetahui apa yang orang lain pikirkan. Berhubung jaman sedari SD sampai SMA saya menyukai komik 'Detectif Conan' dan ketika kuliah saya jatuh cinta kepada Sherlock Holmes. Saya akan membahas mengenai psikologi forensik, salah satu aplikasi terapan dari psikologi di bidang hukum. Selain itu saya juga menuliskan mengenai profiling criminal, salah satu tugas kelompok untuk menganalisa suatu kasus kejahatan, yang saya lakukan bersama teman-teman saya dikampus.
Psikologi Forensik dan Profiling Criminal
Psikologi Forensik adalah semua bentuk dan metode psikologi untuk menyelesaikan permasalahan hukum. Ilmu ini bekerja dengan meneliti aspek-aspek perilaku manusia yang berkaitan dengan proses peradilan (saksi mata, memori dan kesaksian, pengambilan keputusan para juri, perilaku kriminal). Psikolog forensik bisa berperan sebagai saksi ahli, criminal profiler, seleksi polisi, penggunaan hipnosis dalam investigasi (yang walaupun sampai sekarang diragukan reliabilitasnya), evaluasi kewarasan dan kompetensi mental.
Psikologi forensik sendiri di Indonesia masih belum sering digunakan dibandingkan dengan negara luar, dikarenakan keterpercayaan pemerintah dan psikolog forensik sendiri di Indonesia masih sangaaattt jaraaanggg. Akan tetapi, berdasarkan pemberitaan televisi kita bisa melihat psikologi forensik semakin berpengaruh. Penerapan psikologi dimata hukum dinilai penting dan membantu penyelsaian kasus kejahatan dikarenakan banyaknya kasus kriminal yang disertai masalah mental. Contohnya saja beberapa media menanyakan pendapat psikolog mengenai kasus kriminal seperti kasus mutilasi yang dilakukan Ryan (tahun 2008) dan kasus Ade Sara yang dibunuh pacar dan temannya (2014).
Psikologi Forensik dan Profiling Criminal
Psikologi Forensik adalah semua bentuk dan metode psikologi untuk menyelesaikan permasalahan hukum. Ilmu ini bekerja dengan meneliti aspek-aspek perilaku manusia yang berkaitan dengan proses peradilan (saksi mata, memori dan kesaksian, pengambilan keputusan para juri, perilaku kriminal). Psikolog forensik bisa berperan sebagai saksi ahli, criminal profiler, seleksi polisi, penggunaan hipnosis dalam investigasi (yang walaupun sampai sekarang diragukan reliabilitasnya), evaluasi kewarasan dan kompetensi mental.
Psikologi forensik sendiri di Indonesia masih belum sering digunakan dibandingkan dengan negara luar, dikarenakan keterpercayaan pemerintah dan psikolog forensik sendiri di Indonesia masih sangaaattt jaraaanggg. Akan tetapi, berdasarkan pemberitaan televisi kita bisa melihat psikologi forensik semakin berpengaruh. Penerapan psikologi dimata hukum dinilai penting dan membantu penyelsaian kasus kejahatan dikarenakan banyaknya kasus kriminal yang disertai masalah mental. Contohnya saja beberapa media menanyakan pendapat psikolog mengenai kasus kriminal seperti kasus mutilasi yang dilakukan Ryan (tahun 2008) dan kasus Ade Sara yang dibunuh pacar dan temannya (2014).
Salah
satu aplikasi psikologi forensik adalah criminal profiling. Criminal profiling adalah Suatu usaha ilmiah
untuk menyediakan informasi khusus tentang tipe-tipe pelaku kejahatan tertentu,
dan digunakan sebagai skesta biografis pola perilaku dan kecenderungan munculya
perilaku tersebut. Informasi ini lah yang akan menolong kepolisian untuk menangkap pelaku kejahatan. Berikut adalah contoh analisis profiling yang kami lakukan:
ANALISIS KASUS BLACK DAHLIA MURDER
penulis: Yosi Sihite, Erika Gressia, Satriani Manalu
Dalam
kasus kriminal atau kejahatan, criminal profiling dibutuhkan untuk membantu
menganalisis dan memberikan informasi khusus tentang tipe tertentu dan sebagai
sketsa biografi dari perilaku, trend, dan kecenderungan pada seorang
tersangka.
Dalam kasus ini data profiling yang
dimiliki oleh pihak kepolisian yaitu bukti fisik, foto-foto TKP, hasil otopsi
laporan dan gambar, keterangan saksi, laporan informasi latar belakang dari
saksi dan polisi. Dari TKP dan barang bukti yang ada dari korban, psikolog
forensik dapat melihat beberapa indikasi perilaku pelaku dari tanda-tanda yang
ada pada korban untuk membuat perkiraan profil kriminal pelaku, yaitu seperti:
Bukti fisik :
-
Kemungkinan pelaku adalah seorang pria yang berbadan
cukup kekar, hal ini dapat
dilihat dari, darah mayat korban yang sudah mengering dan di tempat
ditemukannya korban tidak terdapat
bercak darah yang banyak. Jadi dapat diasumsikan bahwa pembunuhan dilakukan di
tempat terpisah dengan tempat pembuangan mayat tersebut. Oleh karena itu, untuk
membawa mayat korban, dibutuhkan fisik yang cukup kuat untuk mengangkat mayat
tersebut. Maka diasumsikanlah bahwa pelakunya adalah pria yang berbadan cukup
kekar.
Bukti
psikologi :
- - Korban ditemukan dalam keadaan terbaring tanpa pakaian di tengah lapangan terbuka dengan pose yang vulgar. Disana terlihat, bahwa pelaku ingin menunjukkan kontrolnya menurut fantasinya sendiri sehingga ia menampilkan mayat korban dengan posisi tertentu untuk tujuan mempermalukan korban dan meletakkan mayat korban di tempat-tempat yang mudah ditemukan. Jadi jika kita simpulkan dari analisis keadaan tersebut, pelaku memiliki sifat dominansi yang kuat dan fantasi yang besar.
- - Dari barang bukti, dapat dilihat bahwa pelaku membunuh korban dengan teknik yang rapi seperti terlihat pada caranya memotong tubuh korban menjadi bagian atas dan bawah dimana tidak ada tanda-tanda korban di mutilasi dengan membabi buta atau berantakan. Atau dari sayatan-sayatan yang tampak pada alat kelamin korban, sayatan-sayatan tersebut dilakukan dengan rapi. Diperkirakan juga kalau selang waktu pembunuhan dengan pembuangan mayat adalah beberapa hari. Karena dapat dilihat darah korban sudah mengering dan tidak ada bercak darah pada tempat ditemukannya mayat. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang rapi dan teratur dan berkemungkinan adalah seseorang yang berpendidikan dan berasal kelas sosial menengah keatas.
- - Korban juga diketahui telah disekap dan disiksa selama beberapa hari, dimana hal ini ditunjukkan dari bekas jeratan tali pada pergelangan kaki dan tangannya. Ia juga telah diperkosa baik secara anal atau vaginal yang mana diikuti dengan sayatan-sayatan di daerah tersebut. Meski dari hasil otopsi tidak ditemukan sperma pelaku pada korban. Namun ini menunjukkan, bahwa pelaku memiliki penyimpangan seksual, karena ia melakukan hubungan seksual tanpa memanfaatkan alat kelaminnya sendiri dan menyakiti alat kelamin korban dimana kemungkinan hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan fantasi dan gairah pelaku tersebut.
- - Pelaku juga kemungkinan adalah seorang yang cerdas, karena baik dari tubuh korban dan barang bukti yang dikirimkan pelaku pada polisi yaitu barang-barang pribadi milik korban berupa paspor, kartu nama, foto-foto korban bersama rekan-rekannya, nota dan akte kelahiran korban, tetapi tidak ditemukan sidik jari pada barang-barang tersebut dan tubuh korban. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku telah menghapus dan membersihkan bukti-bukti yang mengarah pada dirinya.
- - Berdasarkan referensi (www.criminalprofiling.ch), diketahui bahwa luka-luka wajah yang brutal pada korban menunjukkan bahwa pelaku tahu korban-korban mereka.
-
Dari uraian dan
analisis di atas untuk sementara, motif pelaku dalam membunuh korban yaitu
kemungkinan karena gangguan seksual karena korban diperkosa dengan cara tidak
normal, pribadi karena wajah korban dilukai secara brutal dengan cara yang
sadis yang mana menujukkan bahwa korban adalah orang yang dikenal pelaku dan
emosional karena pelaku menyakiti korban berkali-kali di berbagai tempat tubuh
korban.
Berdasarkan teori :
Dalam kasus ini, pendekatan
profiling kriminal yang digunakan oleh pihak kepolisian adalah:
-
Profiling
kriminal dari karakteristik kejadian kejahatan
Dalam
kasus pihak kepolisian menganalisis TKP dalam menentukan modus operandi dan
signaturenya, yaitu :
Modus operandi :
Standar
prosedur yang dilakukan oleh pelaku dalam membunuh korbannya;
Pertama,
korban dianiaya, kemudian ditelanjangi, diperkosa dan disodomi.
Kedua,
korban disekap dan mengikat kedua tangan dan kakinya dengan tali.
Ketiga,
korban dipotong menjadi dua bagian.
Keempat,
korban dibuang ke tempat lain.
Signature
:
Tanda
kriminalitas yang mencerminkan keunikan, aspek-aspek pesonal pada tindakan
kriminal atau seringnya merefleksikan ekspresi dari kejahatan perilaku.
Pada tubuh
korban, pelaku menyayat alat kelamin korban, menguliti payudara kanan korban,
merobek mulut korban, melubangi perut bagian bawah dan paha kiri, serta
memotong tubuh korban menjadi dua, di bagian atas pinggang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari analisis di atas kita bis melihat siapa sajakah orang yang kemungkinan menjadi pelaku kejahatan Black Dahlia dari cara profil kriminalnya. Pemprofilan pelaku kejahatan menolong polisi untuk menangkap pelaku kejahatan. Contohnya saja pembegalan yang marak terjadi di kota-kota besar, dengan melakukan pemprofilan terhadap pembegal, polisi akan terbantu mempetakan siapa saja yang menjadi pembegal, di wilayah mana mereka bekerja dan langkah apa yang dilakukan mencegah pembegalan. Jika Anda tertarik lebih lanjut dengan penerapan profiling criminal ada satu drama yaitu 'Gap Dong' . Drama ini mengenai kasus pembunuhan berantai yang disertai kejahatan seksual, dalam drama ini terlihat jelas bagaimana psikolog forensik bekerja melakukan profiling dan efek psikologis sebuah kejahatan bagi korban dan pelaku.
REFERENSI
Wrightsman,
Lawrence S. 2001. Forensic Psychology. United State of America: Wadsworth.
http://xfile-enigma.blogspot.com/2010/06/black-dahlia-murder-kisah-pembunuhan.html
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/12/09/17263271/Akhir.Cerita.Sejoli.Terdakwa.Pembunuh.Ade.Sara.
http://wiki.d-addicts.com/Gap_Dong
Langganan:
Postingan (Atom)